Senin, 10 Desember 2012

Permasalahan Pendidikan di Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang
Secara faktual, kegiatan pendidikan merupakan kegiatan antar manusia, oleh manusia dan untuk manusia. Oleh karena itu pembicaraan tentang pendidikan tidak pernah lepas dari unsur manusia. Dari beberapa pendapat tentang pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan pada umumnya sepakat bahwa pendidikan itu diberikan atau diselenggarakan dalam rangka mengembangkan seluruh potensi manusia ke arah yang positif.
Pendidikan, pada dasarnya adalah proses kumunikasi yang didalamnya mengandung transformasi pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan-keterampilan, di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung sepanjang hayat (life long process), dan generasi ke generasi.Pendidikan sebagai gejala manusiawi dan sekaligus usaha sadar, didalamnya tidak lepas dari keterbatsan-keterbatasan yang dapat melekat pada peserta didik, pendidik, interaksi pendidik, serta.
Seseorang yang menginginkan menjadi pendidik maka ia dipersyaratkan mempunyai kriteria yang diinginkan oleh dunia pendidikan. Tidak semua orang bisa menjadi pendidik kalau yang bersangkutan tidak bisa menunjukkan bukti dengan criteria yang ditetapkan. Dalam hal ini oleh Dirto Hadisusanto, Suryati Sidharto, dan Dwi Siswoyo (1995) syarat seorang pendidik adalah : (1) mempunya perasaan terpanggil sebagai tugas suci, (2) mencintai dan mengasih-sayangi peserta didik, (3) mempunyai rasa tanggung jawab yang didasari penuh akan tugasnya. Ketiga persyaratan tersebut merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Orang terasa terpanggil untuk mendidik maka ia mencintai peserta didiknya dan memiliki perasaan wajib dalam melaksanakan tugasnya disertai dengan dedikasi yang tinggi atau bertanggungjawab.
Menurut mereka juga bahwa kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah:
a. Kompetensi professional
b. Kompetensi personal
c. Kompetensi social
d. Paedagogi guru
Namun untuk konteks Indonesia, dewasa ini telah dirumuskan syarat kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru menurut UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Pada pasal 10 undang-undang tersebut disebutkan bahwa kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.Guru yang baik adalah guru yang bisa menguasai ke empat kompetensi diatas. Dewasa ini banyak kebijakan yang ditempuh pemerintah dalam upaya mencari sosok guru yang baik dan memiliki kemampuan yang berkompoten.

1.2              Rumusan Masalah

1.      Bagaimana kualitas guru di Indonesia?
2.      Apa saja factor yang menyebabkan rendahnya kualitas guru?
3.      Bagaimana mengenai UU Guru dan Dosen?
4.      Apa saja kendala dalam meningkatkan kualitas guru di Indonesia?
5.      Bagaimana upaya meningkatkan kualitas guru di Indonesia?

1.3              Tujuan Penulisan

1.      Memaparkan bagaimana kualitas di Indonesia saat ini.
2.      Menjelaskan factor yang menyebabkan rendahnya kualitas guru di Indonesia.
3.      Menjelaskan UU Guru dan Dosen.
4.      Menjelaskan kendala dalam meningkatkan kualitas guru di Indonesia.
5.      Memberikan upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas guru di Indonesia.


1.4              Manfaat Penulisan

1.                  Penambahan pengetahuan dan wawasan mengenai kualitas guru di Indonesia.
2.                  Dapat berpartisipasi dalam menemukan upaya untuk meningkatkan kualitas guru di Indonesia dan berperan aktif dalam mensukseskan dan meningkatkan kembali kualitas guru di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kualitas Guru di Indonesia
Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.
Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk di daerah terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai buat hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara normal seperti kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah.
“Guru Kencing berdiri, murid kecing berlari”. Pepatah ini dapat memberi kita pemahaman bahwa betapa besarnya peran guru dalam dunia pendidikan. Pada saat masyarakat mulai menggugat kualitas pendidikan yang dijalankan di Indonesia maka akan banyak hal terkait yang harus dibenahi. Masalah sarana dan prasarana pendidikan, sistem pendidikan, kurikulum, kualitas tenaga pengajar (guru dan dosen), dll. Secara umum guru merupakan faktor penentu tinggi rendahnya kualitas hasil pendidikan. Namun demikian, posisi strategis guru untuk meningkatkan mutu hasil pendidikan sangat dipengaruhi oleh kemampuan profesional, faktor kesejahteraannya, dll. Khusus guru, di Indonesia untuk tahun 2005 saja terdapat kekurangan tenaga guru sebesar 218.838 (menurut data direktorat tenaga kependidikan). Data Direktorat Tenaga Kependidikan, 2004 Dengan jumlah kekurangan guru yang cukup besar maka kita juga tidak dapat berharap akan terciptanya kualitas pendidikan. Disamping itu masalah distribusi guru juga tidak merata, baik dari sisi daerah maupun dari sisi sekolah. Dalam banyak kasus, ada SD yang hanya memiliki tiga hingga empat orang guru sehingga mereka harus mengajar secara paralel dan simultan.
Belum lagi hal yang berkaitan dengan prasyarat akademis, baik itu menyangkut pendidikan minimal maupun kesesuaian latar belakang bidang studi dengan pelajaran yang harus diberikan. Semisal, masih cukup banyak guru SMA/SMK yang belum berkualifikasi pendidikan sarjana atau strata satu. Seperti yang bersyaratkan dalam UU Guru dan Dasar.
Disamping kualifikasi akademis yang mendasar, guru juga sangat jarang diikutkan untuk pelatihan-pelatihan untuk dapat meningkatkan kemampuannya. Padahal seorang guru, secara garis besar harus mempunyai kemampuan untuk :
1. penguasaan materi/bahan pelajaran.
2. perencanaan program proses belajar-mengajar.
3. kemampuan dalam pelaksanaan proses belajar-mengajar.
4. kemampuan penggunaan media dan sumber pelajaran.
5. kemampuan evaluasi dan penilaian.
6. kemampuan program penyuluhan dan bimbingan.

2.2 Faktor Penyebab Rendahnya Kualitas Guru
Rendahnya kualitas guru tentu memprihatinkan kita semua. Padahal sebagai profesi yang keberadaannya sudah cukup lama, masyarakat selalu menuntut lebih pada guru.  Citra guru masa kini adalah potret bangsa masa depan. Pernyataan tersebut, walaupun ekstrim namun tidaklah terlalu keliru. Guru menentukan masa depan bangsa kita. Ditangan gurulah masa depan bangsa kita ini dipertaruhkan. Guru menjadi komponen yang paling penting dalam sistem pendidikan. Bahkan menjadi jantung dan simbol pendidikan itu sendiri.
Dunia pendidikan nasional kita memang sedang menghadapi masalah  yang demikian kompleks. Begitu kompleksnya masalah itu, tidak jarang  guru merupakan pihak yang paling sering dituding sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap kualitas pendidikan. Asumsi demikian tentunya tidak semuanya benar, mengingat teramat banyak komponen mikrosistem pendidikan yang ikut menentukan kualitas pendidikan. Namun begitu, guru memang merupakan salah satu komponen mikrosistem pendidikan yang sangat strategis dan banyak mengambil peran di dalam proses pendidikan secara luas, khususnya dalam pendidikan persekolahan.
Guru memang merupakan komponen diterminan dalam pengelenggaraan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) dan menempati posisi kunci dalam Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dampak kualitas kemampuan profesional dan kinerja guru bukan hanya akan berkontribusi terhadap kualitas lulusan yang dihasilkan (output) melainkan juga akan berlanjut pada kualitas kinerja dan jasa para lulusan tersebut (outcome) dalam pembangunan, yang pada gilirannya kemudian akan nampak pengaruhnya terhadap kualitas peradaban dan martabat hidup masyarakat, bangsa serta umat manusia pada umumnya.
Banyak faktor yang menyebabkan mengapa kualitas guru demikian rendah. Mulai dari komitmen pemerintah rendah, kesejahteraan yang minim, pembinaan dan perlindungan profesi yang belum memadai, kualitas input, LPTK sebagai lembaga yang menghasilkan guru, sampai kepada persoalan kinerja guru yang sangat rendah. Permasalahan itu langsung atau tidak langsung akan berkaitan dengan masalah mutu profesionalisme guru yang masih belum memadai. Padahal sudah sangat jelas hal tersebut ikut menentukan mutu pendidikan nasional. Mutu pendidikan nasional yang rendah, salah satu penyebabnya adalah mutu guru yang rendah.
Selain faktor di atas faktor lain yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru disebabkan oleh antara lain; (1) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh. Hal ini disebabkan oleh banyak guru yang bekerja di luar jam kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga waktu untuk membaca dan menulis untuk meningkatkan diri tidak memadai; (2) belum adanya standar profesional guru sebagaimana tuntutan di negara-negara maju; (3) kemungkinan disebabkan oleh adanya perguruan tinggi sebagai pencetak guru yang lulusannya asal jadi tanpa mempehitungkan outputnya kelak di lapangan sehingga menyebabkan banyak guru yang tidak patuh terhadap etika profesi keguruan; (4) kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri.
2.3 UU Guru dan Dosen
Sejak awal pembahasan UU Guru dan Dosen, pertanyaan yang banyak muncul di masyarakat luas adalah : “ Untuk siapa UU Guru dan Dosen tersebut ? “ hal ini mengemuka karena ada kekhawatiran UU tersebut tidak dapat memayungi seluruh guru. Dengan kata lain ditakutkan adanya proses diskriminasi antara guru PNS dan guru swasta.
Khusus posisi guru swasta selama ini memang seolah-olah tidak dipayungi oleh UU yang ada meskipun secara eksplisit sudah tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dari sudut UU kepegawaian jelas tidak menkhususkan untuk guru, karena yang diatur adalah pegawai pemerintah (PNS) sedangkan dari sudut UU Ketenagakerjaan juga akan sangat sulit karena penyelenggara pendidikan adalah yayasan. Sehingga guru tidak dapat dikatagorikan sebagai tenaga kerja atau buruh. Bisa dikatakan sebelum UU Guru dan Dosen disahkan, guru-guru tidak mempunyai payung hukum yang jelas. Yang memang mengatur segala sesuatu secara khusus yang menyangkut guru, seperti halnya dengan UU Tenaga Kerja dan UU Kepegawaian.
Sekilas UU Guru dan Dosen : UU Guru dan Dosen mendapatkan sambutan yang hangat, terutama dari kalangan pendidik. UU ini dianggap bisa menjadi payung hukum unuk guru dan dosen tanpa adanya perlakuan yang berbeda antara guru negeri dan swasta. Meskipun di beberapa bagian masih sangat hangat diperbincangkan dan menjadi perdebatan yang sangat seru. UU Guru dan Dosen secara gamblang dan jelas mengatur secara detail aspek-aspek yang selama ini belum diatur secara rinci. Semisal, kedudukan, fungsi dan tujuan dari guru, hak dan kewajiban guru, kompetensi dll. Yang perlu digaris bawahi dan mendapat sambutan positif dari masyarakat terhadap UU Guru dan Dosen adalah hal-hal yang menyangkut :
 a. Kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi.
b. Hak dan kewajiban.
c. Pembinaan dan pengembangan.
d. Penghargaan,
e. Perlindungan
f. Organisasi profesi dan kode etik.
Enam indikator diatas belum diatur secara rinci, sehingga sangat sulit untuk mengharapkan profesionalitas guru-guru di Indonesia.
Ada beberapa hal dalam UU Guru dan Dosen yang sampai saat ini masih hangat dibicarakan, hal-hal tersebut adalah :
a.                   Standardisasi.
– Standardisasi penyelenggaraan pendidikan.
Sampai saat ini cukup banyak penyelenggara pendidikan (yayasan-yayasan) yang tidak jelas keberadaannya. Dalam pelaksanaanya banyak lembaga pendidikan yang belum memenuhi standar mutu pelayanan pendidikan dan standart mutu pendidikan yang diharapkan. Hal ini disebabkan yayasan-yayasan tersebut terkesan memaksakan diri untuk mendirikan lembaga pendidikan, sehingga banyak lembaga pendidikan yang tidak layak, karena sarana dan prasarana pendidikan yang jauh dari memadai, guru yang tidak kompeten, organisasi yang tidak dikelola dengan baik dll. Penyelenggara pendidikan seperti diatas jumlahnya cukup besar di indonesia. Dengan lahirnya UU Guru dan Dosen diharapkan dapat menjadi acuan untuk memperbaiki kualitas mutu pelayanan pendidikan di masyarakat baik itu negeri maupun swasta.

- Standardisasi kompetensi guru.
Hal ini akan tercantum pada pasal 8 UU Guru dan Dosen yang menjelaskan tentang Sertifikat Profesi Pendidik.
Pasal 8 menyebutkan : ”Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”.
Banyak pihak mengkhawatirkan program sertifikasi ini (yang diselenggarakan oleh LPTK) nantinya akan menimbulkan masalah baru di dunia pendidikan, terutama yang mengarah pada terciptanya lembaga yang menjadi sarang kolusi dan korupsi baru. Yang pada akhirnya akan memperburuk kondisi pendidikan bangsa. Sedang semangat dari pasal ini adalah untuk meningkatkan kompetensi pendidik itu sendiri, serta berusaha lebih menghargai profesi pendidik. Dengan sertifikasi diharapkan lebih menghargai profesi guru, dan meningkatkan mutu guru di Indonesia. Hal ini dilakukan sebagai langkah menjadikan guru sebagai tenaga profesional.

b.                  Kesejahteraan atau Tunjangan.
11 item Hak Guru yang tercantum pada pasal 14 UU Guru dan Dosen adalah bentuk penghargaan pemerintah dan masyarakat kepada guru. Untuk indikator penghasilan guru PNS sudah diatur Pasal 15 ayat 1. Guru berhak untuk mendapatkan tunjangan, yaitu :
1. Tunjangan profesi.
2. Tunjangan Fungsional.
3. Tunjangan Khusus.
Tiga jenis tunjangan diatas diatur dalam pasal 16,17 dan 18 UU Guru dan Dosen. Tunjangan profesi diberikan kepada guru baik guru PNS ataupun guru swasta yang telah memiliki sertifikat pendidik.
Disamping tunjangan diatas, guru juga berhak untuk memperoleh ”maslahat tambahan” yang tercantum dalam pasal 19 UU Guru dan Dosen. Maslahat Tambahan tersebut meliputi :
1. Tunjangan pendidikan.
2. Asuransi pendidikan.
3. Beasiswa.
4. Penghargaan bagi guru.
5. Kemudahan bagi putra-putri guru untuk memperoleh pendidikan.
6. Pelayangan kesehatan.
7. Bentuk kesejahteraan lain.

c.                   Organisasi profesi dan dewan kehormatan.
Dengan lahirnya UU Guru dan Dosen ini diharapkan bida didirikan organisasi profesi yang dapat mewadahi (terutama) guru yang dapat menjalankan fungsinya sebagai orgnisasi profesi yang independen dan diharapkan dapat menjadi lembaga yang benar-benar memperjuangkan nasib guru. Demikian pula dengan dewan kehormatan yang tercipta dari organisasi profesi yang independent diharapkan menjadi penngawal pelaksanaan kode etik guru.

d.                  Perlindungan
Setiap guru berhak mendapatkan perlindungan dalam melaksanakan tugasnya. Perlindungan untuk guru meliputi :
1. Perlindungan hukum. Perlindungan hukum mencakup perlindugan atas tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil.
2. Perlindungan profesi. Perlindungan profesi mencakup perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pelecehan terhadap profesi serta pembatasan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas.
3. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Perlindungan ini mencakup perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja atau resiko lain.

UU Guru dan Dosen mungkin masih harus di perdebatkan dalam rangka memperbaikinya di masa yang akan datang. Apalagi ada beberapa hal memang tidak serta merta dapat dilaksanakan. Pemberian tunjangan kepada seluruh guru, akan sangat terganturng anggaran pemerintah. Sehingga pada saat anggaran pendidikan belum mencapai 20% dari APBN maka akan sangat sulit dilaksanakan. Demikian pula dengan program sertifikasi dll, masih memerlukan proses untuk pelaksanaan dan mencapai tujuan yang diharapkan.

Namun diharapkan dengan adanya 2 (dua) undang-undang yaitu Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Guru dan Dosen diharapkan akan memperbaiki mutu pendidikan nasional secara keseluruhan.
2.4 Kendala-kendala dalam Meningkatkan Kualitas Guru

Adapaun kendala-kendala yang timbul dalam meningkatkan kualitas guru adalah:
1. Masih banyak guru yang memiliki kompetensi keilmuan dan profesionalitas rendah dan memprihatinkan.
2. Masih banyak guru yang kurang terpacu dan termotivasi untuk memberdayakan diri, mengembangkan profesionalitas diri dan memuthakirkan pengetahuan mereka secara terus menerus dan berkelanjutan meskipun cukup banyak guru Indonesia yang sangat rajin mengikuti program pendidikan.
3. Masih banyak guru yang kurang terpacu, terdorong dan tergerak secara pribadi untuk mengembangkan profesi mereka sebagai guru. Para guru umumnya masih kurang mampu menulis karya ilmiah bidang pembelajaran, menemukan teknologi sederhana dan tepat guna, membuat alat peraga pembelajaran, dan atau menciptakan karya seni.
4. Hanya sedikit guru Indonesia yang secara sungguh-sungguh, penuh kesadaran diri untuk menjalin kesejawatan dan mengikuti pertemuan–pertemuan untuk mengembangkan profesi .
Keempat hal di atas setidak-tidaknya merupakan bukti pendukung bahwa mutu profesionalitas guru di Indonesia masih rendah. Kurang memuaskan, bahkan memprihatinkan meskipun berbagai upaya pengembangan dan peningkatan mutu profesionalitas sudah dilakukan oleh pemerintah. Hal itu terjadi karena terdapat berbagai kendala pengembangan dan peningkatan mutu profesionalitas guru di Indonesia, di antaranya adalah;
a) Kendala personal berupa rendahnya kesadaran guru untuk mengutamakan mutu dalam pengembangan diri, kurang termotivasinya guru untuk memiliki program terbaik bagi pemberdayaan diri, tertanamnya rasa tidak berdaya dan tidak mampu untuk mengembangkan profesi.
b) Kendala ekonomis berupa terbatasnya kemampuan financial guru untuk secara berkelanjutan mengembangkan diri, amat rendahnya penghasilan sebagai guru sehingga memaksa mereka bekerja bermacam-macam, dan banyaknya pungutan dan pembiayaan kepada mereka sehingga mengurangi kemampuan ekonomis untuk mengembangkan profesi.
c) Kendala struktural berupa banyaknya pihak yang mengatur dan mengawasi guru sehingga mereka tidak bisa bekerja dengan tenang, rumitnya jenjang dan jalur pengembangan profesi atau karier yang membuat mereka merasa tidak berdaya, terlalu ketat dan kakunya berbagai birokrasi yang mengikat para guru, sehingga tidak mampu mengembangkan kreativitas.
d) Kendala sosial berupa rendahnya penghargaan masyarakat terhadap profesi guru, kurangnya partisipasi masyarakat dalam upaya pengembangan profesi guru, dan kurangnya fasilitas sosial bagi pengembangan profesi guru.
e) Kendala budaya berupa rendahnya budaya kerja berorientasi mutu sehingga para guru bekerja seadanya.
2.5 Upaya Meningkatkan Kualitas Guru di Indonesia
Salah satu cara melihat kualitas guru dilakukan dengan melihat kualifikasi akademik yang diperoleh oleh guru. Menurut Undang-undang Guru dan Dosen bahwa kualifikasi akademik adalah jenjang pendidikan akademik yang harus dimiliki oleh guru dan dosen sesuai dengan jenis jenjang dan satuan pendidikan formal ditempat penugasan. Menurut Feisal (2000) apabila kita ingin memperbaiki salah satu ranah kegiatan masyarakat dan atau pemerintahan, maka yang harus diperbaiki pertama kali adalah sumber daya manusianya, baru sarana dan prasarana lainnya apakah itu biaya, struktur organisasi, metodelogi, mekanisme dan sistem eveluasinya. Silverius (1977:84); Zulfadli (2006) dengan kualitas manusia yang cerdas dan handal akan mampu bertarung dalam era kompetitif. Kamajuan dan persaingan di dunia yang semakin terbuka tidak mungkin dihadapi dengan kualitas manusia yang serba pas-pasan.
Untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas sehingga mampu bersaing secara kompetitif hanya mungkin dicapai dengan pendidikan yang baik dan berkualitas. Pendidikan yang berkualitas hanya mungkin dilakukan apabila orang-orang yang terlibat dalam dunia pendidikan (guru) harus berkualitas, sebab tanpa guru yang berkualitas, sulit menghasilkan murid yang berkualitas. Lalu seperti apa guru yang berkualitas, menurut Muchtaridi (2004) guru yang berkualitas memiliki ciri-ciri antara lain mengajar dimengerti oleh siswa, wawasan keilmuannya baik, suri tauladan bagi pendidikan moral siswanya, dan punya keinginan untuk meng-uprade dirinya, dan totalitas bagi pendidikan. Tilaar (1999) dalam Sihombing (2001:48) mengatakan bahwa dalam kehidupan abad 21 menuntut manusia unggul dan hasil karya unggul. Hanya manusia unggul yang dapat survice. Dengan demikian hanya manusia yang unggul atau berkualitas yang mampu menghasilkan sesuatu yang berkualitas.
Oleh karena itu masalah sumber daya manusia perlu mendapat perhatian yang serius dari semua pihak. Bahkan Aswandi menyatakan bahwa dalam era globalisasi guru yang berkualitas sudah merupakan tuntutan dalam pendidikan (Pontianak Post, 25 April 2006).
Dalam hubungan itu, maka tidaklah berlebihan bilamana Muchtaridi (2004) menyatakan bahwa guru adalah ujung tombak dalam preoses pembelajaran. Meskipun ada sejumlah faktor lainnya yang ikut menentukan efektivitas dan efisiensi kualitas pembelajaran, faktor guru tetap menempati posisi yang strategis. Bahkan Bloom (1976) dalam Tangyong (1996) menyatakan bahwa guru berada digarda paling depan yang paling bertanggungjawab dalam transfer of knowledge kepada muridnya. Tugas guru mendidik siswa untuk mencapai tujuan pendidikan. Maka dapat dibayangkan apa yang akan terjadi jika para gurunya banyak yang tidak berkualitas. Bagaimanapun sistem pendidikannya, jika guru kurang siap melaksanakannya tetap saja hasilnya sama jelek.
Di sekolah swasta bonafit, guru benar-benar dikontrol kualitasnya dengan berbagai program yang diadakan Yayasan demi menjaga kualitas sekolah tersebut dan kepercayaan dari orang tua murid, sehingga hasilnya sangat memuaskan. Sementara di sekolah negeri yang gurunya pegawai negeri sipil (PNS) sudah terlanjur terjebak oleh kalimat pahlawan tanpa pamrih, sehingga akibat posisi guru dimasyarakat terasa dipinggirkan dan tersisihkan. Banyaknya kasus pemalsuan ijazah akhir-akhir ini yang dilakukan baik oleh oknum guru itu sendiri maupun pihak luar merupakan salah satu indikator bahwa posisi guru diremehkan. Atas dasar ini, maka yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana potret kualifikasi dan kualitas guru-guru saat ini.
Guru sebagai tenaga pelaksana pembelajaran di sekolah harus memiliki kemampuan profesional. Oleh sebab itu pembinaan profesionalisme guru secara terus menerus mutlak diperlukan. Salah satu sarana utama untuk meningkatkan kemampuan profesional guru adalah melalui supervisi pendidikan. Kegiatan supervisi pendidikan merupakan bagian integral dari kegiatan manajemen pendidikan di sekolah. Menurut Sergiovanni (1987) supervisi merupakan usaha sadar untuk menstimulasi, mengkoordinasi dan membimbing secara kontinyu pertumbuhan guru di sekolah baik secara individual maupun kelompok agar lebih mengerti dan efektif dalam mewujudkan seluruh fungsi pembelajaran. Selanjutnya Depdikbud (1994) menyatakan bahwa pembinaan profesional guru adalah pemberian bantuan kepada guru terutama bantuan yang berwujud bimbingan profesional yang dilakukan oleh kepala sekolah, pengawas, guru atau pembina lainnya untuk meningkatkan proses dan hasil belajar mengajar.
Kegiatan supervisi pendidikan saat ini harus sejalan dengan desentralisasi pendidikan. Sistem sentralisasi yang telah lama diterapkan diasumsikan kurang memberikan kesempatan guru untuk leluasa dalam merencanakan, menemukan dan mengembangkan pembelajaran. Bila ditinjau dari model pendekatan supervisi yang ada, akan lebih tepat apabila mengacu kepada pendekatan supervisi diferensial (differentiated supervision) (Wiyono, 2004). Supervisi diferensial adalah suatu pendekatan supervisi yang memberikan pilihan layanan supervisi dalam pengembangan pembelajaran.
Ada beberapa alasan penggunaan supervisi diferensial. Dari perspektif professional, guru adalah suatu profesi sehingga guru perlu diberdayakan dengan menekankan pada banyak pilihan layanan supervisi. Jenis supervisi ini menerapkan seperangkat premis yang berbeda yang memungkinkan guru memiliki peluang mengembangkan diri sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan yang dimiliki. Dari segi perspektif organisasi, sekolah yang efektif mempunyai iklim khusus yang menekankan pada sistem kolegialitas. Lingkungan kolegial memberikan kesempatan yang banyak untuk berinteraksi dan menciptakan harapan dukungan yang besar. Sedangkan dari sisi supervisor, supervisi diferensial akan memungkinkan supervisor memfokuskan pada usaha sadar secara tepat sesuai dengan kebutuhan guru dan guru dapat mengembangkan diri secara maksimal melalui teknik yang bervariasi
Ada tiga metode pengembangan pembinaan guru: pengembangan intensif (intensive development), pengembangan kooperatif (cooperative development), dan pengembangan diri sendiri (self directed development) (Wiyono, 2004). Supervisi intensif merupakan supervisi yang dilakukan oleh supervisor yang lebih tinggi, baik kepala sekolah, wakil kepala sekolah, pengawas atau guru senior dan dilakukan secara kontinyu dan sistematis. Tujuannya lebih difokuskan pada pertumbuhan guru bukan evaluasi guru. Pengembangan kooperatif merupakan proses pengembangan guru melalui teman sejawat. Tim kecil guru bekerja bersama untuk memfasilitasi pertumbuhan profesionalnya. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui pengamatan antar kelas, dialog profesional, pengembangan kurikulum, supervisi sejawat, pelatihan sejawat, dan penelitian tindakan. Sedangkan pengembangan diri sendiri adalah proses pertumbuhan guru melalui usaha mandiri secara independen. Kegiatan ini dilakukan melalui model berdasarkan tujuan atau model diagnostik balikan sehingga guru bisa mengidentifikasi kelemahan, menetapkan arah dan teknik sesuai dengan karakteristik yang dimiliki secara independen. Model ini dapat dilakukan terutama bagi guru yang sudah memiliki taraf pertumbuhan jabatan yang cukup tinggi.
Guru merupakan komponen paling menentukan dalam sistem pendidikan secara keseluruhan, yang harus mendapat perhatian sentral, pertama dan utama. Figur yang satu ini akan senantiasa menjadi sorotan strategis ketika berbicara masalah pendidikan, karena guru selalu terkait dengan komponen manapun dalam sistem pendidikan. Guru memegang peran utama dalam pembangunan pendidikan, khususnya yang diselenggarakan secara formal di sekolah. Guru juga sangat menentukan keberhasilan peserta didik, terutama dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar. Guru merupakan komponen yang paling berpengaruh terhadap terciptanya proses dan hasil pendidikan yang berkualitas. Oleh karena itu, upaya perbaikan apa pun yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan tidak akan memberikan sumbangan yang siknifikan tanpa didukung oleh guru yang profesional dan berkualitas. Dengan kata lain, perbaikan kualitas pendidikan harus berpangkal dari guru dan berujung pada guru pula.
Adapun skenario yang diprogramkan untuk meningkatkan mutu pendidik meliputi beberapa tahapan yang harus saling terkait. Langkah pertama yang perlu diambil adalah tahapan yang dinilai sangat penting sebagai titik awal (starting point) untuk melakukan langkah-langkah berikutnya. langkah-langkah selanjutnya adalah tahapan yang harus dilakukan dalam keseluruhan skenario, namun perlu diperhatikan hubungan antara tahapan yang satu dengan tahapan yang lain. Selain itu, target atau tujuan harus jelas dalam pencapaian tahapan yang ditentukan.
1. Langkah pertama: peningkatan kesejahteraan guru
Hak pendidik harus mendapat prioritas dalam kebijakan pemerintah (khususnya Kepala Dinas Pendidikan). Beberapa hak-hak tersebut di antaranya adalah hak untuk memperoleh penghasilan dan kesejahteraan dengan standar upah yang layak. Dengan terpenuhinya hak-hak pendidik, maka para pendidik dengan sendirinya akan mempunyai tanggung jawab untuk mengejar prestasi. Itulah sebabnya, maka langkah pertama ini dinilai amat vital dan strategis untuk meningkatkan mutu pendidik dan tenaga kependidikan. Alasan dalam mengambil langkah ini sebagai yang pertama adalah peningkatan gaji dan kesejahteraan merupakan langkah yang memiliki dampak yang paling berpengaruh terhadap langkah-langkah lainnya. Selain itu, kenaikan gaji dapat dilakukan secara menyeluruh dan bertahap. Hal ini terkait dengan semakin maraknya tindak korupsi di negeri ini (Indonesia).
Berkaitan dengan korupsi ini, pendidik (guru) merupakan pelaku sekaligus korban korupsi. Guru sebagai korban korupsi adalah perlakuan tidak adil pejabat dalam tingkatan di atasnya (baik dinas, maupun cabang dinasnya), yang kadang memotong gaji guru untuk sejumlah alasan (kepentingan yang tidak terarah tujuannya). Sedangkan, guru sebagai pelaku korupsi dikarenakan tiga alasan, yaitu Pertama, pendapatan yang diterima guru kurang dibandingkan pengeluaran untuk kehidupan pribadi, ditambah untuk pengeluaran dalam mendukung proses pembelajaran. Kedua, guru tidak diikutkan untuk menentukan kebijakan di sekolah. Secara umum, guru hanya diposisikan sebagai educator. “Hasil penelitian Indonesian Corruption Watch pada beberapa kota di Indonesia secara umum menunjukkan bahwa guru tidak mengetahui kebijakan sekolah. Bahkan banyak yang mengaku belum pernah melihat rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS) di sekolahnya” (Hidayat, 2010). Ketiga, guru merupakan pegawai bawah di antara penyelenggara pendidikan lain, seperti kepala sekolah dan pejabat dinas pendidikan, sehingga selain menjadi korban obyekan atasan, porsi anggaran atau pendapatan yang diperoleh pun biasanya kecil. “Penelitian Indonesian Corruption Watch pada APBS beberapa sekolah di Jakarta dan Tangerang memperlihatkan bahwa alokasi anggaran untuk guru tidak mencapai setengah porsi untuk kepala sekolah” (Hidayat, 2010).Dengan demikian, usaha memberantas korupsi ini bisa diawali dengan perjuangan memperbaiki nasib (kesejahteraan) para guru. Jika standar gaji dinaikkan itu sudah layak, maka kenaikan gaji dapat diikuti dengan standar kompetensi yang tinggi pula. Oleh karena itu, terdapat berbagai pangkat dan golongan pegawai, maka kenaikan gajinya juga diselaraskan dengan pangkat dan golongan pegawai tersebut. Dengan demikian, uji kompetensi harus dilakukan secara jujur dan transparan. Untuk itu, maka instrumen uji kompetensi harus disiapkan secara matang. Jangan sampai terjadi kecurangan dalam proses uji kompetensi ini. Jika terjadi kecurangan dalam pelaksanaan uji kompetensi, maka secara otomatis akan dapat merusak seluruh komponen dalam sistem ini. Langkah pertama ini akan berjalan dengan lebih mantap jika sistem pembayaran gajinya telah dilaksanakan melalui bank (secara pribadi).

2. Langkah kedua: alih tugas profesi dan rekruitmen guru
Langkah kedua ini merupakan konsekuensi dari langkah pertama, sehingga para pendidik yang tidak memenuhi standar kompetensi harus dialihtugaskan kepada profesi lain. Para pendidik harus rela dialihtugaskan ke profesi yang lain, misalnya menjadi tenaga administrasi atau yang lain, jika para pendidik tersebut telah diberikan kesempatan untuk mengikuti diklat dan pembinaan secara intensif, tetapi tidak menunjukkan adanya perkembangan positif kompetensi untuk menjadi pendidik profesional.Untuk mengganti tenaga pendidik yang telah dialihtugaskan ke profesi lain tersebut perlu adanya seleksi (rekruitmen) secara jujur dan transparan, sesuai standar kualifikasi yang telah ditetapkan. Rekruitmen pendidik yang jujur dan transparan ini dilakukan dalam rangka mereformasi pendidikan.



3. Langkah ketiga: membangun sistem sertifikasi pendidik
Langkah ini akan memberikan dukungan bagi pelaksanaan langkah pertama. Tahapan ini sangat berat, karena terkait dengan anggaran belanja negara yang sangat besar. Prasyarat yang harus dipernuhi, yaitu untuk pendidik yang akan diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) harus sesuai standar minimal kualifikasi pendidikan. Sementara bagi guru yang sudah memiliki pengalaman tidak perlu dituntut untuk memenuhi standar ijazah tersebut, karena akan menyebabkan terjadinya apa yang disebut dengan ‘jual beli ijazah’ yang juga dikenal dengan ‘sekolah tidak ijazah ada’ (STIA). Bagi pendidik yang telah berpengalaman diperlukan adanya pendidikan profesi dan sistem diklat berjenjang yang harus dihargai setara dengan kualifikasi pendidikan tertentu. Jika sistem sertifikasi ini telah mulai berjalan, maka sistem kenaikan pangkat bagi pendidik sudah waktunya disesuaikan. Kenaikan pangkat pendidik bukan hanya sebagai proses administrasi saja, melainkan proses penting dalam sertifikasi yang berdasarkan kompetensi yang dimiliki para pendidik.

4. Langkah keempat: membangun standar pembinaan karir (career development path)
Seiring dengan pelaksanaan sertifikasi tersebut, disusunlah satu standar pembinaan karier. Sistem itu harus dalam bentuk dokumen yang disahkan dalam bentuk undang-undang atau setidaknya berupa peraturan pemerintah yang harus dilaksanakan oleh aparat otonomi daerah. Sebagai contoh, untuk menjadi instruktur, kepala sekolah, atau pengawas, seorang pendidik harus memiliki standar kompetensi yang diperlukan, dan harus melalui proses pencapaian yang telah diberlakukan tersebut. Standar pembinaan karir dapat dilaksanakan dengan baik apabila sistem sertifikasi pendidik dan sistem kenaikan pangkat pegawai berdasarkan sertifikasi sudah berjalan.
5. Langkah kelima: peningkatan kompetensi melalui kegiatan diklat, dan pendidikan profesi, serta melibatkan organisasi pembinaan profesi tenaga pendidik
Sebagaimana dijelaskan pada langkah sebelumnya, proses rekruitmen guru baru harus dilaksanakan secara jujur dan transparan, dengan menggunakan standar kualifikasi yang telah ditetapkan. Sedangkan, untuk para pendidik yang sudah berpengalaman perlu diberikan kesempatan untuk mengikuti penataran yang dilaksanakan oleh lembaga inservice training terakreditasi. Selain itu, para pendidik juga disyaratkan untuk mengikuti pendidikan profesi yang dapat dilaksanakan oleh lembaga tenaga kependidikan (LPTK) terakreditasi.
Upaya peningkatan kompetensi bagi pendidik harus dilaksanakan dengan program yang jelas. Jumlah pendidik yang besar di negeri ini memerlukan penanganan secara sinergis oleh semua instansi yang terkait dengan preservice education, inservice training, dan on the job training. Kegiatan sinergis peningkatan mutu pendidik juga harus melibatkan organisasi pembinaan profesi guru, seperti Kelompok Kerja Guru (KKG), Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS), dan Musyawarah Kerja Penilik atau Pengawas Sekolah (MKPS), termasuk PGRI sebagai wadah organisasi perjuangan para guru.
Pembinaan profesional guru melalui KKG, MGMP, MKKS, dan MKPS, tidak hanya membicarakan permasalahan yang terjadi pada situasi saat itu saja, tetapi sangat perlu adanya pengembangan dengan pembuatan program yang disusun pada saat ajaran baru, sehingga ada tujuan yang jelas untuk dievaluasi di tiap akhir tahun. Selama ini, semua kegiatan tersebut berjalan seperti biasa. Namun, belum terlihat manfaat atau hasilnya.
Oleh karena itu, pembinaan profesional guru diharapkan memiliki kegiatan rutin yang inovatif, seperti mengadakan lomba pembuatan rancangan teknologi bagi peserta didik, mengadakan acara seminar untuk guru bidang studi tertentu.
Peningkatan kualitas guru tidak dapat dilakukan secara spektakuler, coba-coba dan instan. Peningkatan kualitas harus berdasarkan data, tujuan, sasaran dan target yang jelas. Evaluasi ketercapainyapun harus dilakukan secara cermat, dikomunikasikan objektif, dan terbuka. Inilah bagian dari tantangan peningkatan kualitas guru di sekolah.
Adapun upaya yang lain untuk meningkatkan mutu dan kualitas guru adalah:
1. Dalam upaya peningkatan mutu guru melalui pendidikan dalam jabatan, penekanan diberikan pada kemampuan guru agar dapat meningkatkan efektifitas mengajar, mengatasi persoalan-persoalan praktis dan pengelolaan PBM, dan meningkatkan kepekaan guru terhadap perbedaan individu para siswa yang dihadapinya.
2. Pembinaan mutu guru perlu secara sungguh-sungguh memberikan perhatian, melatih kepekaan guru terhadap para siswa yang semakin beragam, terutama pada pendidikan dasar sebagai konsekuensi dari semakin terbukanya akses peserta didik terhadap sekolah.
3. Dalam rangka peningkatan mutu guru, lembaga-lembaga Diklat (PPG dan BPG) di lingkungan Depdiknas perlu lebih dioptimalkan peranannya sesuai dengan tugas dan fungsinya.
4. Sesuai dengan prisip-prinsip peningkatan mutu berbasis sekolah dan semangat desentralisasi, sekolah diberi kewenangan yang lebih besar untuk menentukan apa yang terbaik untuk meningkatkan mutu guru-gurunya.
5. Mengikuti program sertifikasi, dalam UUD RI No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, dikemukan bahwa sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat guru dan dosen.Sertifikasi guru dapat diartikan sebagai suatu proses pemberian pengakuan bahwa seseorang telah memiliki kompetensi untuk melaksanakan pelayanan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu, setelah lulus uji kompetensi oleh lembaga sertifikasi.
6. Menaikan upah dan gaji guru. Dengan menaikan upah dan gaji guru maka akan meningkatkan kesejahteraan guru sehingga guru lebih serius dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya.
7. Guru memiliki pengetahuan dan keterampilan Pengetahuan dan keterampilan bagi seorang guru merupakan suatu hal yang mutlak, guru sebagai seorang komunitator harus memiliki syarat, yaitu terampil berkomunikasi, sikap, pengetahuan, dan sistem social budaya. Disamping itu guru senantiasa mengembangkan diri dengan pengetahuan yang mendukung profesionalitasnya dengan ilmu pendidikan, menguasai secara penuh materi yang diajar serta selalu mengembangkan model pembelajaran. Jadi, untuk meningkatkan kualitas guru sebaiknya guru memiliki pengetahuan yang luas dan berbagai keterampilan.
8. Mengutamakan layanan Guru sebagai tenaga professional akan melayani siswanya untuk mengembangkan diri lebih maju, berpikir kritis, kreatif, mengambil keputusan dan memecahkan masalah serta tidak membedakan antara satu siswa dengan lainnya.
9. Memiliki kesatuan atau organisasi Suatu profesi perlu memiliki kesatuan atau organisasi profesi yang berfungsi sebagai lembaga pengendali keseluruhan profesi itu, baik secara mandiri maupun secara bersama-sama dengan pihak lain yang relevan.
10. Mendapat pengakuan orang lain terhadap pekerjaan guru. Sekarang pengakuan terhadap seorang guru hanya tinggal sebatas nama kenangan, bahwa beliau adalah guruku, ustadku, kepedulian terhadap jasa yang diberi oleh guru telah tertindas oleh kesibukan material, dan kadang-kadang guru diukur dengan material sehingga ada kecenderungan guru yang materialistis.
11. Menghapus diskriminasi status guru yang saat ini beragam.












BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Banyak faktor yang menyebabkan mengapa kualitas guru demikian rendah. Mulai dari komitmen pemerintah rendah, kesejahteraan yang minim, pembinaan dan perlindungan profesi yang belum memadai, kualitas input, LPTK sebagai lembaga yang menghasilkan guru, sampai kepada persoalan kinerja guru yang sangat rendah. Permasalahan itu langsung atau tidak langsung akan berkaitan dengan masalah mutu profesionalisme guru yang masih belum memadai. Padahal sudah sangat jelas hal tersebut ikut menentukan mutu pendidikan nasional. Mutu pendidikan nasional yang rendah, salah satu penyebabnya adalah mutu guru yang rendah.
Selain faktor di atas faktor lain yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru disebabkan oleh antara lain; (1) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh. Hal ini disebabkan oleh banyak guru yang bekerja di luar jam kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga waktu untuk membaca dan menulis untuk meningkatkan diri tidak memadai; (2) belum adanya standar profesional guru sebagaimana tuntutan di negara-negara maju; (3) kemungkinan disebabkan oleh adanya perguruan tinggi sebagai pencetak guru yang lulusannya asal jadi tanpa mempehitungkan outputnya kelak di lapangan sehingga menyebabkan banyak guru yang tidak patuh terhadap etika profesi keguruan; (4) kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri.
Ada beberapa hal dalam UU Guru dan Dosen yang sampai saat ini masih hangat dibicarakan, hal-hal tersebut adalah :
a.       Standardisasi.
- Standardisasi penyelenggaraan pendidikan.
- Standardisasi kompetensi guru.
b.                  Kesejahteraan atau Tunjangan.
c.                   Organisasi profesi dan dewan kehormatan.
d.                  Perlindungan

Salah satu sarana utama untuk meningkatkan kemampuan profesional guru adalah melalui supervisi pendidikan. Kegiatan supervisi pendidikan merupakan bagian integral dari kegiatan manajemen pendidikan di sekolah.

3.2 Saran

Permasalahan pendidikan yang terjadi di Indonesia mengakibatkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.  Rendahnya kulitas pendidikan di Indonesia menyebabkan keterbelakangan Sumber Daya Manusia Indonesia yang pada akhirnya berdampak pada keterlambatan pembangunan di Indonesia.  Hal ini tentu tidak di inginkan, oleh karena itu marilah kita bersama-sama mengaasi berbagai permasalahan yang terjadi.  Sehingga Negara Indonesia tidak selamanya menjadi follower perkembangan bangsa lain. 



DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar