BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Secara faktual,
kegiatan pendidikan merupakan kegiatan antar manusia, oleh manusia dan untuk
manusia. Oleh karena itu pembicaraan tentang pendidikan tidak pernah lepas dari
unsur manusia. Dari beberapa pendapat tentang pendidikan yang dikemukakan oleh
para ahli pendidikan pada umumnya sepakat bahwa pendidikan itu diberikan atau
diselenggarakan dalam rangka mengembangkan seluruh potensi manusia ke arah yang
positif.
Pendidikan, pada
dasarnya adalah proses kumunikasi yang didalamnya mengandung transformasi
pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan-keterampilan, di dalam dan di luar
sekolah yang berlangsung sepanjang hayat (life long process), dan generasi ke
generasi.Pendidikan sebagai gejala manusiawi dan sekaligus usaha sadar,
didalamnya tidak lepas dari keterbatsan-keterbatasan yang dapat melekat pada
peserta didik, pendidik, interaksi pendidik, serta.
Seseorang yang
menginginkan menjadi pendidik maka ia dipersyaratkan mempunyai kriteria yang
diinginkan oleh dunia pendidikan. Tidak semua orang bisa menjadi pendidik kalau
yang bersangkutan tidak bisa menunjukkan bukti dengan criteria yang ditetapkan.
Dalam hal ini oleh Dirto Hadisusanto, Suryati Sidharto, dan Dwi Siswoyo (1995)
syarat seorang pendidik adalah : (1) mempunya perasaan terpanggil sebagai tugas
suci, (2) mencintai dan mengasih-sayangi peserta didik, (3) mempunyai rasa
tanggung jawab yang didasari penuh akan tugasnya. Ketiga persyaratan tersebut
merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Orang terasa
terpanggil untuk mendidik maka ia mencintai peserta didiknya dan memiliki
perasaan wajib dalam melaksanakan tugasnya disertai dengan dedikasi yang tinggi
atau bertanggungjawab.
Menurut mereka
juga bahwa kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah:
a. Kompetensi
professional
b. Kompetensi
personal
c. Kompetensi
social
d. Paedagogi
guru
Namun untuk
konteks Indonesia, dewasa ini telah dirumuskan syarat kompetensi yang harus
dimiliki oleh seorang guru menurut UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.
Pada pasal 10 undang-undang tersebut disebutkan bahwa kompetensi guru meliputi
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.Guru yang baik adalah
guru yang bisa menguasai ke empat kompetensi diatas. Dewasa ini banyak
kebijakan yang ditempuh pemerintah dalam upaya mencari sosok guru yang baik dan
memiliki kemampuan yang berkompoten.
1.2
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
kualitas guru di Indonesia?
2. Apa
saja factor yang menyebabkan rendahnya kualitas guru?
3. Bagaimana
mengenai UU Guru dan Dosen?
4. Apa
saja kendala dalam meningkatkan kualitas guru di Indonesia?
5. Bagaimana
upaya meningkatkan kualitas guru di Indonesia?
1.3
Tujuan
Penulisan
1. Memaparkan
bagaimana kualitas di Indonesia saat ini.
2. Menjelaskan
factor yang menyebabkan rendahnya kualitas guru di Indonesia.
3. Menjelaskan
UU Guru dan Dosen.
4. Menjelaskan
kendala dalam meningkatkan kualitas guru di Indonesia.
5. Memberikan
upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas guru di Indonesia.
1.4
Manfaat
Penulisan
1.
Penambahan pengetahuan dan wawasan
mengenai kualitas guru di Indonesia.
2.
Dapat berpartisipasi dalam menemukan
upaya untuk meningkatkan kualitas guru di Indonesia dan berperan aktif dalam
mensukseskan dan meningkatkan kembali kualitas guru di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kualitas Guru di Indonesia
Seperti yang
telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini
terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru
tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada
siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi
guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali
guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain
berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai
pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini
dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur
mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.
Sarana
pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di
Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk
di daerah terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang
benar-benar dipakai buat hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan
mereka tidak belajar secara normal seperti kebanyakan siswa pada umumnya,
antara lain guru dan sekolah.
“Guru Kencing berdiri, murid kecing berlari”. Pepatah ini
dapat memberi kita pemahaman bahwa betapa besarnya peran guru dalam dunia
pendidikan. Pada saat masyarakat mulai menggugat kualitas pendidikan yang
dijalankan di Indonesia maka akan banyak hal terkait yang harus dibenahi.
Masalah sarana dan prasarana pendidikan, sistem pendidikan, kurikulum, kualitas
tenaga pengajar (guru dan dosen), dll. Secara umum guru merupakan faktor
penentu tinggi rendahnya kualitas hasil pendidikan. Namun demikian, posisi
strategis guru untuk meningkatkan mutu hasil pendidikan sangat dipengaruhi oleh
kemampuan profesional, faktor kesejahteraannya, dll. Khusus guru, di Indonesia
untuk tahun 2005 saja terdapat kekurangan tenaga guru sebesar 218.838 (menurut
data direktorat tenaga kependidikan). Data Direktorat Tenaga Kependidikan, 2004
Dengan jumlah kekurangan guru yang cukup besar maka kita juga tidak dapat
berharap akan terciptanya kualitas pendidikan. Disamping itu masalah distribusi
guru juga tidak merata, baik dari sisi daerah maupun dari sisi sekolah. Dalam
banyak kasus, ada SD yang hanya memiliki tiga hingga empat orang guru sehingga
mereka harus mengajar secara paralel dan simultan.
Belum lagi hal yang berkaitan dengan prasyarat akademis,
baik itu menyangkut pendidikan minimal maupun kesesuaian latar belakang bidang
studi dengan pelajaran yang harus diberikan. Semisal, masih cukup banyak guru
SMA/SMK yang belum berkualifikasi pendidikan sarjana atau strata satu. Seperti
yang bersyaratkan dalam UU Guru dan Dasar.
Disamping kualifikasi akademis yang mendasar, guru juga
sangat jarang diikutkan untuk pelatihan-pelatihan untuk dapat meningkatkan
kemampuannya. Padahal seorang guru, secara garis besar harus mempunyai
kemampuan untuk :
1. penguasaan materi/bahan pelajaran.
2. perencanaan program proses belajar-mengajar.
3. kemampuan dalam pelaksanaan proses belajar-mengajar.
4. kemampuan penggunaan media dan sumber pelajaran.
5. kemampuan evaluasi dan penilaian.
6. kemampuan program penyuluhan dan bimbingan.
2.2 Faktor Penyebab Rendahnya Kualitas Guru
Rendahnya kualitas
guru tentu memprihatinkan kita semua. Padahal sebagai profesi yang
keberadaannya sudah cukup lama, masyarakat selalu menuntut lebih pada guru.
Citra guru masa kini adalah potret bangsa masa depan. Pernyataan
tersebut, walaupun ekstrim namun tidaklah terlalu keliru. Guru menentukan masa
depan bangsa kita. Ditangan gurulah masa depan bangsa kita ini dipertaruhkan.
Guru menjadi komponen yang paling penting dalam sistem pendidikan. Bahkan
menjadi jantung dan simbol pendidikan itu sendiri.
Dunia
pendidikan nasional kita memang sedang menghadapi masalah yang demikian
kompleks. Begitu kompleksnya masalah itu, tidak jarang guru merupakan
pihak yang paling sering dituding sebagai orang yang paling bertanggung jawab
terhadap kualitas pendidikan. Asumsi demikian tentunya tidak semuanya benar,
mengingat teramat banyak komponen mikrosistem pendidikan yang ikut menentukan
kualitas pendidikan. Namun begitu, guru memang merupakan salah satu komponen
mikrosistem pendidikan yang sangat strategis dan banyak mengambil peran di
dalam proses pendidikan secara luas, khususnya dalam pendidikan persekolahan.
Guru memang
merupakan komponen diterminan dalam pengelenggaraan pengembangan Sumber Daya
Manusia (SDM) dan menempati posisi kunci dalam Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas). Dampak kualitas kemampuan profesional dan kinerja guru bukan hanya
akan berkontribusi terhadap kualitas lulusan yang dihasilkan (output)
melainkan juga akan berlanjut pada kualitas kinerja dan jasa para lulusan
tersebut (outcome) dalam pembangunan, yang pada gilirannya kemudian
akan nampak pengaruhnya terhadap kualitas peradaban dan martabat hidup
masyarakat, bangsa serta umat manusia pada umumnya.
Banyak faktor
yang menyebabkan mengapa kualitas guru demikian rendah. Mulai dari komitmen
pemerintah rendah, kesejahteraan yang minim, pembinaan dan perlindungan profesi
yang belum memadai, kualitas input, LPTK sebagai lembaga yang menghasilkan
guru, sampai kepada persoalan kinerja guru yang sangat rendah. Permasalahan itu
langsung atau tidak langsung akan berkaitan dengan masalah mutu profesionalisme
guru yang masih belum memadai. Padahal sudah sangat jelas hal tersebut ikut
menentukan mutu pendidikan nasional. Mutu pendidikan nasional yang rendah,
salah satu penyebabnya adalah mutu guru yang rendah.
Selain faktor
di atas faktor lain yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru disebabkan
oleh antara lain; (1) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara
utuh. Hal ini disebabkan oleh banyak guru yang bekerja di luar jam kerjanya
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga waktu untuk membaca dan
menulis untuk meningkatkan diri tidak memadai; (2) belum adanya standar
profesional guru sebagaimana tuntutan di negara-negara maju; (3) kemungkinan
disebabkan oleh adanya perguruan tinggi sebagai pencetak guru yang lulusannya
asal jadi tanpa mempehitungkan outputnya kelak di lapangan sehingga menyebabkan
banyak guru yang tidak patuh terhadap etika profesi keguruan; (4) kurangnya
motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri.
2.3 UU Guru dan Dosen
Sejak awal pembahasan UU Guru dan Dosen, pertanyaan yang
banyak muncul di masyarakat luas adalah : “ Untuk siapa UU Guru dan Dosen
tersebut ? “ hal ini mengemuka karena ada kekhawatiran UU tersebut tidak dapat
memayungi seluruh guru. Dengan kata lain ditakutkan adanya proses diskriminasi
antara guru PNS dan guru swasta.
Khusus posisi guru swasta selama ini memang seolah-olah
tidak dipayungi oleh UU yang ada meskipun secara eksplisit sudah tercantum
dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dari
sudut UU kepegawaian jelas tidak menkhususkan untuk guru, karena yang diatur
adalah pegawai pemerintah (PNS) sedangkan dari sudut UU Ketenagakerjaan juga
akan sangat sulit karena penyelenggara pendidikan adalah yayasan. Sehingga guru
tidak dapat dikatagorikan sebagai tenaga kerja atau buruh. Bisa dikatakan
sebelum UU Guru dan Dosen disahkan, guru-guru tidak mempunyai payung hukum yang
jelas. Yang memang mengatur segala sesuatu secara khusus yang menyangkut guru,
seperti halnya dengan UU Tenaga Kerja dan UU Kepegawaian.
Sekilas UU Guru dan Dosen : UU Guru dan Dosen mendapatkan
sambutan yang hangat, terutama dari kalangan pendidik. UU ini dianggap bisa
menjadi payung hukum unuk guru dan dosen tanpa adanya perlakuan yang berbeda
antara guru negeri dan swasta. Meskipun di beberapa bagian masih sangat hangat
diperbincangkan dan menjadi perdebatan yang sangat seru. UU Guru dan Dosen
secara gamblang dan jelas mengatur secara detail aspek-aspek yang selama ini
belum diatur secara rinci. Semisal, kedudukan, fungsi dan tujuan dari guru, hak
dan kewajiban guru, kompetensi dll. Yang perlu digaris bawahi dan mendapat
sambutan positif dari masyarakat terhadap UU Guru dan Dosen adalah hal-hal yang
menyangkut :
a. Kualifikasi,
kompetensi, dan sertifikasi.
b. Hak dan kewajiban.
c. Pembinaan dan pengembangan.
d. Penghargaan,
e. Perlindungan
f. Organisasi profesi dan kode etik.
Enam indikator diatas belum diatur secara rinci, sehingga
sangat sulit untuk mengharapkan profesionalitas guru-guru di Indonesia.
Ada beberapa hal dalam UU Guru dan Dosen yang sampai saat
ini masih hangat dibicarakan, hal-hal tersebut adalah :
a.
Standardisasi.
–
Standardisasi penyelenggaraan pendidikan.
Sampai
saat ini cukup banyak penyelenggara pendidikan (yayasan-yayasan) yang tidak
jelas keberadaannya. Dalam pelaksanaanya banyak lembaga pendidikan yang belum
memenuhi standar mutu pelayanan pendidikan dan standart mutu pendidikan yang
diharapkan. Hal ini disebabkan yayasan-yayasan tersebut terkesan memaksakan
diri untuk mendirikan lembaga pendidikan, sehingga banyak lembaga pendidikan
yang tidak layak, karena sarana dan prasarana pendidikan yang jauh dari
memadai, guru yang tidak kompeten, organisasi yang tidak dikelola dengan baik
dll. Penyelenggara pendidikan seperti diatas jumlahnya cukup besar di
indonesia. Dengan lahirnya UU Guru dan Dosen diharapkan dapat menjadi acuan
untuk memperbaiki kualitas mutu pelayanan pendidikan di masyarakat baik itu
negeri maupun swasta.
-
Standardisasi kompetensi guru.
Hal ini
akan tercantum pada pasal 8 UU Guru dan Dosen yang menjelaskan tentang
Sertifikat Profesi Pendidik.
Pasal 8
menyebutkan : ”Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat
pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional”.
Banyak
pihak mengkhawatirkan program sertifikasi ini (yang diselenggarakan oleh LPTK)
nantinya akan menimbulkan masalah baru di dunia pendidikan, terutama yang
mengarah pada terciptanya lembaga yang menjadi sarang kolusi dan korupsi baru.
Yang pada akhirnya akan memperburuk kondisi pendidikan bangsa. Sedang semangat
dari pasal ini adalah untuk meningkatkan kompetensi pendidik itu sendiri, serta
berusaha lebih menghargai profesi pendidik. Dengan sertifikasi diharapkan lebih
menghargai profesi guru, dan meningkatkan mutu guru di Indonesia. Hal ini
dilakukan sebagai langkah menjadikan guru sebagai tenaga profesional.
b.
Kesejahteraan
atau Tunjangan.
11 item
Hak Guru yang tercantum pada pasal 14 UU Guru dan Dosen adalah bentuk
penghargaan pemerintah dan masyarakat kepada guru. Untuk indikator penghasilan
guru PNS sudah diatur Pasal 15 ayat 1. Guru berhak untuk mendapatkan tunjangan,
yaitu :
1.
Tunjangan profesi.
2.
Tunjangan Fungsional.
3.
Tunjangan Khusus.
Tiga jenis
tunjangan diatas diatur dalam pasal 16,17 dan 18 UU Guru dan Dosen. Tunjangan
profesi diberikan kepada guru baik guru PNS ataupun guru swasta yang telah
memiliki sertifikat pendidik.
Disamping
tunjangan diatas, guru juga berhak untuk memperoleh ”maslahat tambahan” yang
tercantum dalam pasal 19 UU Guru dan Dosen. Maslahat Tambahan tersebut meliputi
:
1.
Tunjangan pendidikan.
2. Asuransi
pendidikan.
3.
Beasiswa.
4.
Penghargaan bagi guru.
5.
Kemudahan bagi putra-putri guru untuk memperoleh pendidikan.
6.
Pelayangan kesehatan.
7. Bentuk
kesejahteraan lain.
c.
Organisasi
profesi dan dewan kehormatan.
Dengan
lahirnya UU Guru dan Dosen ini diharapkan bida didirikan organisasi profesi
yang dapat mewadahi (terutama) guru yang dapat menjalankan fungsinya sebagai
orgnisasi profesi yang independen dan diharapkan dapat menjadi lembaga yang
benar-benar memperjuangkan nasib guru. Demikian pula dengan dewan kehormatan
yang tercipta dari organisasi profesi yang independent diharapkan menjadi
penngawal pelaksanaan kode etik guru.
d.
Perlindungan
Setiap
guru berhak mendapatkan perlindungan dalam melaksanakan tugasnya. Perlindungan
untuk guru meliputi :
1.
Perlindungan hukum. Perlindungan hukum mencakup perlindugan atas tindak
kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak
adil.
2.
Perlindungan profesi. Perlindungan profesi mencakup perlindungan terhadap
pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan,
pemberian imbalan yang tidak wajar, pelecehan terhadap profesi serta pembatasan
lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas.
3.
Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Perlindungan ini mencakup
perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja,
kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja atau
resiko lain.
UU Guru
dan Dosen mungkin masih harus di perdebatkan dalam rangka memperbaikinya di
masa yang akan datang. Apalagi ada beberapa hal memang tidak serta merta dapat
dilaksanakan. Pemberian tunjangan kepada seluruh guru, akan sangat terganturng
anggaran pemerintah. Sehingga pada saat anggaran pendidikan belum mencapai 20%
dari APBN maka akan sangat sulit dilaksanakan. Demikian pula dengan program
sertifikasi dll, masih memerlukan proses untuk pelaksanaan dan mencapai tujuan
yang diharapkan.
Namun
diharapkan dengan adanya 2 (dua) undang-undang yaitu Undang-Undang No. 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Guru dan Dosen diharapkan akan
memperbaiki mutu pendidikan nasional secara keseluruhan.
2.4 Kendala-kendala dalam Meningkatkan
Kualitas Guru
Adapaun kendala-kendala yang timbul dalam meningkatkan kualitas guru adalah:
1. Masih banyak guru yang memiliki kompetensi keilmuan dan profesionalitas rendah dan memprihatinkan.
2. Masih banyak guru yang kurang terpacu dan termotivasi untuk memberdayakan diri, mengembangkan profesionalitas diri dan memuthakirkan pengetahuan mereka secara terus menerus dan berkelanjutan meskipun cukup banyak guru Indonesia yang sangat rajin mengikuti program pendidikan.
3. Masih banyak guru yang kurang terpacu, terdorong dan tergerak secara pribadi untuk mengembangkan profesi mereka sebagai guru. Para guru umumnya masih kurang mampu menulis karya ilmiah bidang pembelajaran, menemukan teknologi sederhana dan tepat guna, membuat alat peraga pembelajaran, dan atau menciptakan karya seni.
4. Hanya sedikit guru Indonesia yang secara sungguh-sungguh, penuh kesadaran diri untuk menjalin kesejawatan dan mengikuti pertemuan–pertemuan untuk mengembangkan profesi .
Keempat hal di atas setidak-tidaknya merupakan bukti
pendukung bahwa mutu profesionalitas guru di Indonesia masih rendah. Kurang
memuaskan, bahkan memprihatinkan meskipun berbagai upaya pengembangan dan
peningkatan mutu profesionalitas sudah dilakukan oleh pemerintah. Hal itu
terjadi karena terdapat berbagai kendala pengembangan dan peningkatan mutu
profesionalitas guru di Indonesia, di antaranya adalah;
a) Kendala personal berupa rendahnya kesadaran guru untuk mengutamakan mutu dalam pengembangan diri, kurang termotivasinya guru untuk memiliki program terbaik bagi pemberdayaan diri, tertanamnya rasa tidak berdaya dan tidak mampu untuk mengembangkan profesi.
b) Kendala ekonomis berupa terbatasnya kemampuan financial guru untuk secara berkelanjutan mengembangkan diri, amat rendahnya penghasilan sebagai guru sehingga memaksa mereka bekerja bermacam-macam, dan banyaknya pungutan dan pembiayaan kepada mereka sehingga mengurangi kemampuan ekonomis untuk mengembangkan profesi.
c) Kendala struktural berupa banyaknya pihak yang mengatur dan mengawasi guru sehingga mereka tidak bisa bekerja dengan tenang, rumitnya jenjang dan jalur pengembangan profesi atau karier yang membuat mereka merasa tidak berdaya, terlalu ketat dan kakunya berbagai birokrasi yang mengikat para guru, sehingga tidak mampu mengembangkan kreativitas.
d) Kendala sosial berupa rendahnya penghargaan masyarakat terhadap profesi guru, kurangnya partisipasi masyarakat dalam upaya pengembangan profesi guru, dan kurangnya fasilitas sosial bagi pengembangan profesi guru.
e) Kendala budaya berupa rendahnya budaya kerja berorientasi mutu sehingga para guru bekerja seadanya.
a) Kendala personal berupa rendahnya kesadaran guru untuk mengutamakan mutu dalam pengembangan diri, kurang termotivasinya guru untuk memiliki program terbaik bagi pemberdayaan diri, tertanamnya rasa tidak berdaya dan tidak mampu untuk mengembangkan profesi.
b) Kendala ekonomis berupa terbatasnya kemampuan financial guru untuk secara berkelanjutan mengembangkan diri, amat rendahnya penghasilan sebagai guru sehingga memaksa mereka bekerja bermacam-macam, dan banyaknya pungutan dan pembiayaan kepada mereka sehingga mengurangi kemampuan ekonomis untuk mengembangkan profesi.
c) Kendala struktural berupa banyaknya pihak yang mengatur dan mengawasi guru sehingga mereka tidak bisa bekerja dengan tenang, rumitnya jenjang dan jalur pengembangan profesi atau karier yang membuat mereka merasa tidak berdaya, terlalu ketat dan kakunya berbagai birokrasi yang mengikat para guru, sehingga tidak mampu mengembangkan kreativitas.
d) Kendala sosial berupa rendahnya penghargaan masyarakat terhadap profesi guru, kurangnya partisipasi masyarakat dalam upaya pengembangan profesi guru, dan kurangnya fasilitas sosial bagi pengembangan profesi guru.
e) Kendala budaya berupa rendahnya budaya kerja berorientasi mutu sehingga para guru bekerja seadanya.
2.5 Upaya Meningkatkan Kualitas Guru
di Indonesia
Salah satu cara
melihat kualitas guru dilakukan dengan melihat kualifikasi akademik yang
diperoleh oleh guru. Menurut Undang-undang Guru dan Dosen bahwa kualifikasi
akademik adalah jenjang pendidikan akademik yang harus dimiliki oleh guru dan
dosen sesuai dengan jenis jenjang dan satuan pendidikan formal ditempat
penugasan. Menurut Feisal (2000) apabila kita ingin memperbaiki salah satu
ranah kegiatan masyarakat dan atau pemerintahan, maka yang harus diperbaiki
pertama kali adalah sumber daya manusianya, baru sarana dan prasarana lainnya
apakah itu biaya, struktur organisasi, metodelogi, mekanisme dan sistem
eveluasinya. Silverius (1977:84); Zulfadli (2006) dengan kualitas manusia yang
cerdas dan handal akan mampu bertarung dalam era kompetitif. Kamajuan dan
persaingan di dunia yang semakin terbuka tidak mungkin dihadapi dengan kualitas
manusia yang serba pas-pasan.
Untuk
menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas sehingga mampu bersaing secara
kompetitif hanya mungkin dicapai dengan pendidikan yang baik dan berkualitas.
Pendidikan yang berkualitas hanya mungkin dilakukan apabila orang-orang yang
terlibat dalam dunia pendidikan (guru) harus berkualitas, sebab tanpa guru yang
berkualitas, sulit menghasilkan murid yang berkualitas. Lalu seperti apa guru
yang berkualitas, menurut Muchtaridi (2004) guru yang berkualitas memiliki
ciri-ciri antara lain mengajar dimengerti oleh siswa, wawasan keilmuannya baik,
suri tauladan bagi pendidikan moral siswanya, dan punya keinginan untuk
meng-uprade dirinya, dan totalitas bagi pendidikan. Tilaar (1999) dalam
Sihombing (2001:48) mengatakan bahwa dalam kehidupan abad 21 menuntut manusia
unggul dan hasil karya unggul. Hanya manusia unggul yang dapat survice. Dengan
demikian hanya manusia yang unggul atau berkualitas yang mampu menghasilkan
sesuatu yang berkualitas.
Oleh karena itu
masalah sumber daya manusia perlu mendapat perhatian yang serius dari semua
pihak. Bahkan Aswandi menyatakan bahwa dalam era globalisasi guru yang
berkualitas sudah merupakan tuntutan dalam pendidikan (Pontianak Post, 25 April
2006).
Dalam hubungan itu, maka tidaklah berlebihan bilamana Muchtaridi (2004) menyatakan bahwa guru adalah ujung tombak dalam preoses pembelajaran. Meskipun ada sejumlah faktor lainnya yang ikut menentukan efektivitas dan efisiensi kualitas pembelajaran, faktor guru tetap menempati posisi yang strategis. Bahkan Bloom (1976) dalam Tangyong (1996) menyatakan bahwa guru berada digarda paling depan yang paling bertanggungjawab dalam transfer of knowledge kepada muridnya. Tugas guru mendidik siswa untuk mencapai tujuan pendidikan. Maka dapat dibayangkan apa yang akan terjadi jika para gurunya banyak yang tidak berkualitas. Bagaimanapun sistem pendidikannya, jika guru kurang siap melaksanakannya tetap saja hasilnya sama jelek.
Dalam hubungan itu, maka tidaklah berlebihan bilamana Muchtaridi (2004) menyatakan bahwa guru adalah ujung tombak dalam preoses pembelajaran. Meskipun ada sejumlah faktor lainnya yang ikut menentukan efektivitas dan efisiensi kualitas pembelajaran, faktor guru tetap menempati posisi yang strategis. Bahkan Bloom (1976) dalam Tangyong (1996) menyatakan bahwa guru berada digarda paling depan yang paling bertanggungjawab dalam transfer of knowledge kepada muridnya. Tugas guru mendidik siswa untuk mencapai tujuan pendidikan. Maka dapat dibayangkan apa yang akan terjadi jika para gurunya banyak yang tidak berkualitas. Bagaimanapun sistem pendidikannya, jika guru kurang siap melaksanakannya tetap saja hasilnya sama jelek.
Di sekolah
swasta bonafit, guru benar-benar dikontrol kualitasnya dengan berbagai program
yang diadakan Yayasan demi menjaga kualitas sekolah tersebut dan kepercayaan
dari orang tua murid, sehingga hasilnya sangat memuaskan. Sementara di sekolah
negeri yang gurunya pegawai negeri sipil (PNS) sudah terlanjur terjebak oleh
kalimat pahlawan tanpa pamrih, sehingga akibat posisi guru dimasyarakat terasa
dipinggirkan dan tersisihkan. Banyaknya kasus pemalsuan ijazah akhir-akhir ini
yang dilakukan baik oleh oknum guru itu sendiri maupun pihak luar merupakan
salah satu indikator bahwa posisi guru diremehkan. Atas dasar ini, maka yang
menjadi pertanyaan adalah bagaimana potret kualifikasi dan kualitas guru-guru
saat ini.
Guru sebagai
tenaga pelaksana pembelajaran di sekolah harus memiliki kemampuan profesional.
Oleh sebab itu pembinaan profesionalisme guru secara terus menerus mutlak
diperlukan. Salah satu sarana utama untuk meningkatkan kemampuan
profesional guru adalah melalui supervisi pendidikan. Kegiatan
supervisi pendidikan merupakan bagian integral dari kegiatan manajemen
pendidikan di sekolah. Menurut Sergiovanni (1987) supervisi merupakan usaha sadar
untuk menstimulasi, mengkoordinasi dan membimbing secara kontinyu pertumbuhan
guru di sekolah baik secara individual maupun kelompok agar lebih mengerti dan
efektif dalam mewujudkan seluruh fungsi pembelajaran. Selanjutnya Depdikbud
(1994) menyatakan bahwa pembinaan profesional guru adalah pemberian bantuan
kepada guru terutama bantuan yang berwujud bimbingan profesional yang dilakukan
oleh kepala sekolah, pengawas, guru atau pembina lainnya untuk meningkatkan
proses dan hasil belajar mengajar.
Kegiatan
supervisi pendidikan saat ini harus sejalan dengan desentralisasi pendidikan.
Sistem sentralisasi yang telah lama diterapkan diasumsikan kurang memberikan
kesempatan guru untuk leluasa dalam merencanakan, menemukan dan mengembangkan
pembelajaran. Bila ditinjau dari model pendekatan supervisi yang ada, akan
lebih tepat apabila mengacu kepada pendekatan supervisi diferensial (differentiated
supervision) (Wiyono, 2004). Supervisi diferensial adalah suatu pendekatan
supervisi yang memberikan pilihan layanan supervisi dalam pengembangan
pembelajaran.
Ada beberapa
alasan penggunaan supervisi diferensial. Dari perspektif professional, guru adalah
suatu profesi sehingga guru perlu diberdayakan dengan menekankan pada banyak
pilihan layanan supervisi. Jenis supervisi ini menerapkan seperangkat premis
yang berbeda yang memungkinkan guru memiliki peluang mengembangkan diri sesuai
dengan karakteristik dan kebutuhan yang dimiliki. Dari segi perspektif
organisasi, sekolah yang efektif mempunyai iklim khusus yang menekankan pada
sistem kolegialitas. Lingkungan kolegial memberikan kesempatan yang banyak
untuk berinteraksi dan menciptakan harapan dukungan yang besar. Sedangkan dari
sisi supervisor, supervisi diferensial akan memungkinkan supervisor memfokuskan
pada usaha sadar secara tepat sesuai dengan kebutuhan guru dan guru dapat
mengembangkan diri secara maksimal melalui teknik yang bervariasi
Ada tiga metode
pengembangan pembinaan guru: pengembangan intensif (intensive development),
pengembangan kooperatif (cooperative development), dan pengembangan diri
sendiri (self directed development) (Wiyono, 2004). Supervisi intensif
merupakan supervisi yang dilakukan oleh supervisor yang lebih tinggi, baik
kepala sekolah, wakil kepala sekolah, pengawas atau guru senior dan dilakukan
secara kontinyu dan sistematis. Tujuannya lebih difokuskan pada
pertumbuhan guru bukan evaluasi guru. Pengembangan kooperatif merupakan proses
pengembangan guru melalui teman sejawat. Tim kecil guru bekerja bersama untuk
memfasilitasi pertumbuhan profesionalnya. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui
pengamatan antar kelas, dialog profesional, pengembangan kurikulum, supervisi
sejawat, pelatihan sejawat, dan penelitian tindakan. Sedangkan pengembangan
diri sendiri adalah proses pertumbuhan guru melalui usaha mandiri secara
independen. Kegiatan ini dilakukan melalui model berdasarkan tujuan atau model
diagnostik balikan sehingga guru bisa
mengidentifikasi kelemahan, menetapkan arah dan teknik sesuai dengan
karakteristik yang dimiliki secara independen. Model ini dapat dilakukan
terutama bagi guru yang sudah memiliki taraf pertumbuhan jabatan yang cukup
tinggi.
Guru merupakan komponen paling menentukan dalam sistem
pendidikan secara keseluruhan, yang harus mendapat perhatian sentral, pertama
dan utama. Figur yang satu ini akan senantiasa menjadi sorotan strategis ketika
berbicara masalah pendidikan, karena guru selalu terkait dengan komponen
manapun dalam sistem pendidikan. Guru memegang peran utama dalam pembangunan
pendidikan, khususnya yang diselenggarakan secara formal di sekolah. Guru juga
sangat menentukan keberhasilan peserta didik, terutama dalam kaitannya dengan
proses belajar mengajar. Guru merupakan komponen yang paling berpengaruh
terhadap terciptanya proses dan hasil pendidikan yang berkualitas. Oleh karena
itu, upaya perbaikan apa pun yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas
pendidikan tidak akan memberikan sumbangan yang siknifikan tanpa didukung oleh
guru yang profesional dan berkualitas. Dengan kata lain, perbaikan kualitas
pendidikan harus berpangkal dari guru dan berujung pada guru pula.
Adapun skenario yang diprogramkan untuk meningkatkan mutu
pendidik meliputi beberapa tahapan yang harus saling terkait. Langkah pertama
yang perlu diambil adalah tahapan yang dinilai sangat penting sebagai titik
awal (starting point) untuk melakukan langkah-langkah berikutnya.
langkah-langkah selanjutnya adalah tahapan yang harus dilakukan dalam
keseluruhan skenario, namun perlu diperhatikan hubungan antara tahapan yang
satu dengan tahapan yang lain. Selain itu, target atau tujuan harus jelas dalam
pencapaian tahapan yang ditentukan.
1. Langkah pertama: peningkatan kesejahteraan guru
1. Langkah pertama: peningkatan kesejahteraan guru
Hak pendidik harus mendapat prioritas dalam kebijakan
pemerintah (khususnya Kepala Dinas Pendidikan). Beberapa hak-hak tersebut di
antaranya adalah hak untuk memperoleh penghasilan dan kesejahteraan dengan
standar upah yang layak. Dengan terpenuhinya hak-hak pendidik, maka para
pendidik dengan sendirinya akan mempunyai tanggung jawab untuk mengejar
prestasi. Itulah sebabnya, maka langkah pertama ini dinilai amat vital dan
strategis untuk meningkatkan mutu pendidik dan tenaga kependidikan. Alasan
dalam mengambil langkah ini sebagai yang pertama adalah peningkatan gaji dan
kesejahteraan merupakan langkah yang memiliki dampak yang paling berpengaruh
terhadap langkah-langkah lainnya. Selain itu, kenaikan gaji dapat dilakukan
secara menyeluruh dan bertahap. Hal ini terkait dengan semakin maraknya tindak
korupsi di negeri ini (Indonesia).
Berkaitan dengan korupsi ini, pendidik (guru) merupakan
pelaku sekaligus korban korupsi. Guru sebagai korban korupsi adalah perlakuan
tidak adil pejabat dalam tingkatan di atasnya (baik dinas, maupun cabang
dinasnya), yang kadang memotong gaji guru untuk sejumlah alasan (kepentingan
yang tidak terarah tujuannya). Sedangkan, guru sebagai pelaku korupsi dikarenakan
tiga alasan, yaitu Pertama, pendapatan yang diterima guru kurang dibandingkan
pengeluaran untuk kehidupan pribadi, ditambah untuk pengeluaran dalam mendukung
proses pembelajaran. Kedua, guru tidak diikutkan untuk menentukan kebijakan di
sekolah. Secara umum, guru hanya diposisikan sebagai educator. “Hasil
penelitian Indonesian Corruption Watch pada beberapa kota di Indonesia secara
umum menunjukkan bahwa guru tidak mengetahui kebijakan sekolah. Bahkan banyak
yang mengaku belum pernah melihat rencana anggaran pendapatan dan belanja
sekolah (APBS) di sekolahnya” (Hidayat, 2010). Ketiga, guru merupakan pegawai
bawah di antara penyelenggara pendidikan lain, seperti kepala sekolah dan
pejabat dinas pendidikan, sehingga selain menjadi korban obyekan atasan, porsi
anggaran atau pendapatan yang diperoleh pun biasanya kecil. “Penelitian
Indonesian Corruption Watch pada APBS beberapa sekolah di Jakarta dan Tangerang
memperlihatkan bahwa alokasi anggaran untuk guru tidak mencapai setengah porsi
untuk kepala sekolah” (Hidayat, 2010).Dengan demikian, usaha memberantas
korupsi ini bisa diawali dengan perjuangan memperbaiki nasib (kesejahteraan)
para guru. Jika standar gaji dinaikkan itu sudah layak, maka kenaikan gaji
dapat diikuti dengan standar kompetensi yang tinggi pula. Oleh karena itu,
terdapat berbagai pangkat dan golongan pegawai, maka kenaikan gajinya juga
diselaraskan dengan pangkat dan golongan pegawai tersebut. Dengan demikian, uji
kompetensi harus dilakukan secara jujur dan transparan. Untuk itu, maka instrumen
uji kompetensi harus disiapkan secara matang. Jangan sampai terjadi kecurangan
dalam proses uji kompetensi ini. Jika terjadi kecurangan dalam pelaksanaan uji
kompetensi, maka secara otomatis akan dapat merusak seluruh komponen dalam
sistem ini. Langkah pertama ini akan berjalan dengan lebih mantap jika sistem
pembayaran gajinya telah dilaksanakan melalui bank (secara pribadi).
2. Langkah kedua: alih tugas profesi dan rekruitmen guru
Langkah kedua ini merupakan konsekuensi dari langkah
pertama, sehingga para pendidik yang tidak memenuhi standar kompetensi harus
dialihtugaskan kepada profesi lain. Para pendidik harus rela dialihtugaskan ke
profesi yang lain, misalnya menjadi tenaga administrasi atau yang lain, jika
para pendidik tersebut telah diberikan kesempatan untuk mengikuti diklat dan
pembinaan secara intensif, tetapi tidak menunjukkan adanya perkembangan positif
kompetensi untuk menjadi pendidik profesional.Untuk mengganti tenaga pendidik
yang telah dialihtugaskan ke profesi lain tersebut perlu adanya seleksi
(rekruitmen) secara jujur dan transparan, sesuai standar kualifikasi yang telah
ditetapkan. Rekruitmen pendidik yang jujur dan transparan ini dilakukan dalam
rangka mereformasi pendidikan.
3. Langkah ketiga: membangun sistem sertifikasi pendidik
Langkah ini akan memberikan dukungan bagi pelaksanaan
langkah pertama. Tahapan ini sangat berat, karena terkait dengan anggaran
belanja negara yang sangat besar. Prasyarat yang harus dipernuhi, yaitu untuk
pendidik yang akan diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) harus sesuai
standar minimal kualifikasi pendidikan. Sementara bagi guru yang sudah memiliki
pengalaman tidak perlu dituntut untuk memenuhi standar ijazah tersebut, karena
akan menyebabkan terjadinya apa yang disebut dengan ‘jual beli ijazah’ yang
juga dikenal dengan ‘sekolah tidak ijazah ada’ (STIA). Bagi pendidik yang telah
berpengalaman diperlukan adanya pendidikan profesi dan sistem diklat berjenjang
yang harus dihargai setara dengan kualifikasi pendidikan tertentu. Jika sistem
sertifikasi ini telah mulai berjalan, maka sistem kenaikan pangkat bagi
pendidik sudah waktunya disesuaikan. Kenaikan pangkat pendidik bukan hanya
sebagai proses administrasi saja, melainkan proses penting dalam sertifikasi
yang berdasarkan kompetensi yang dimiliki para pendidik.
4. Langkah keempat: membangun standar pembinaan karir (career development path)
Seiring dengan pelaksanaan sertifikasi tersebut, disusunlah
satu standar pembinaan karier. Sistem itu harus dalam bentuk dokumen yang
disahkan dalam bentuk undang-undang atau setidaknya berupa peraturan pemerintah
yang harus dilaksanakan oleh aparat otonomi daerah. Sebagai contoh, untuk
menjadi instruktur, kepala sekolah, atau pengawas, seorang pendidik harus
memiliki standar kompetensi yang diperlukan, dan harus melalui proses
pencapaian yang telah diberlakukan tersebut. Standar pembinaan karir dapat
dilaksanakan dengan baik apabila sistem sertifikasi pendidik dan sistem
kenaikan pangkat pegawai berdasarkan sertifikasi sudah berjalan.
5.
Langkah kelima: peningkatan kompetensi melalui kegiatan diklat, dan pendidikan
profesi, serta melibatkan organisasi pembinaan profesi tenaga pendidik
Sebagaimana dijelaskan pada langkah sebelumnya, proses rekruitmen guru baru harus dilaksanakan secara jujur dan transparan, dengan menggunakan standar kualifikasi yang telah ditetapkan. Sedangkan, untuk para pendidik yang sudah berpengalaman perlu diberikan kesempatan untuk mengikuti penataran yang dilaksanakan oleh lembaga inservice training terakreditasi. Selain itu, para pendidik juga disyaratkan untuk mengikuti pendidikan profesi yang dapat dilaksanakan oleh lembaga tenaga kependidikan (LPTK) terakreditasi.
Sebagaimana dijelaskan pada langkah sebelumnya, proses rekruitmen guru baru harus dilaksanakan secara jujur dan transparan, dengan menggunakan standar kualifikasi yang telah ditetapkan. Sedangkan, untuk para pendidik yang sudah berpengalaman perlu diberikan kesempatan untuk mengikuti penataran yang dilaksanakan oleh lembaga inservice training terakreditasi. Selain itu, para pendidik juga disyaratkan untuk mengikuti pendidikan profesi yang dapat dilaksanakan oleh lembaga tenaga kependidikan (LPTK) terakreditasi.
Upaya peningkatan kompetensi bagi pendidik harus
dilaksanakan dengan program yang jelas. Jumlah pendidik yang besar di negeri ini
memerlukan penanganan secara sinergis oleh semua instansi yang terkait dengan
preservice education, inservice training, dan on the job training. Kegiatan
sinergis peningkatan mutu pendidik juga harus melibatkan organisasi pembinaan
profesi guru, seperti Kelompok Kerja Guru (KKG), Musyawarah Guru Mata Pelajaran
(MGMP), Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS), dan Musyawarah Kerja Penilik
atau Pengawas Sekolah (MKPS), termasuk PGRI sebagai wadah organisasi perjuangan
para guru.
Pembinaan profesional guru melalui KKG, MGMP, MKKS, dan
MKPS, tidak hanya membicarakan permasalahan yang terjadi pada situasi saat itu
saja, tetapi sangat perlu adanya pengembangan dengan pembuatan program yang
disusun pada saat ajaran baru, sehingga ada tujuan yang jelas untuk dievaluasi
di tiap akhir tahun. Selama ini, semua kegiatan tersebut berjalan seperti
biasa. Namun, belum terlihat manfaat atau hasilnya.
Oleh karena itu, pembinaan profesional guru diharapkan
memiliki kegiatan rutin yang inovatif, seperti mengadakan lomba pembuatan
rancangan teknologi bagi peserta didik, mengadakan acara seminar untuk guru
bidang studi tertentu.
Peningkatan kualitas guru tidak dapat dilakukan secara
spektakuler, coba-coba dan instan. Peningkatan kualitas harus berdasarkan data,
tujuan, sasaran dan target yang jelas. Evaluasi ketercapainyapun harus
dilakukan secara cermat, dikomunikasikan objektif, dan terbuka. Inilah bagian
dari tantangan peningkatan kualitas guru di sekolah.
Adapun upaya yang lain untuk meningkatkan mutu dan kualitas
guru adalah:
1.
Dalam upaya peningkatan mutu guru melalui pendidikan dalam jabatan, penekanan
diberikan pada kemampuan guru agar dapat meningkatkan efektifitas mengajar,
mengatasi persoalan-persoalan praktis dan pengelolaan PBM, dan meningkatkan
kepekaan guru terhadap perbedaan individu para siswa yang dihadapinya.
2.
Pembinaan mutu guru perlu secara sungguh-sungguh memberikan perhatian, melatih
kepekaan guru terhadap para siswa yang semakin beragam, terutama pada
pendidikan dasar sebagai konsekuensi dari semakin terbukanya akses peserta
didik terhadap sekolah.
3.
Dalam rangka peningkatan mutu guru, lembaga-lembaga Diklat (PPG dan BPG) di
lingkungan Depdiknas perlu lebih dioptimalkan peranannya sesuai dengan tugas
dan fungsinya.
4.
Sesuai dengan prisip-prinsip peningkatan mutu berbasis sekolah dan semangat
desentralisasi, sekolah diberi kewenangan yang lebih besar untuk menentukan apa
yang terbaik untuk meningkatkan mutu guru-gurunya.
5.
Mengikuti program sertifikasi, dalam UUD RI No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan
dosen, dikemukan bahwa sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat guru dan
dosen.Sertifikasi guru dapat diartikan sebagai suatu proses pemberian pengakuan
bahwa seseorang telah memiliki kompetensi untuk melaksanakan pelayanan
pendidikan pada satuan pendidikan tertentu, setelah lulus uji kompetensi oleh
lembaga sertifikasi.
6.
Menaikan upah dan gaji guru. Dengan menaikan upah dan gaji guru maka akan
meningkatkan kesejahteraan guru sehingga guru lebih serius dan bertanggung jawab
dalam menjalankan profesinya.
7. Guru memiliki pengetahuan dan keterampilan Pengetahuan
dan keterampilan bagi seorang guru merupakan suatu hal yang mutlak, guru
sebagai seorang komunitator harus memiliki syarat, yaitu terampil
berkomunikasi, sikap, pengetahuan, dan sistem social budaya. Disamping itu guru
senantiasa mengembangkan diri dengan pengetahuan yang mendukung
profesionalitasnya dengan ilmu pendidikan, menguasai secara penuh materi yang
diajar serta selalu mengembangkan model pembelajaran. Jadi, untuk meningkatkan
kualitas guru sebaiknya guru memiliki pengetahuan yang luas dan berbagai
keterampilan.
8.
Mengutamakan layanan Guru sebagai tenaga professional akan melayani siswanya
untuk mengembangkan diri lebih maju, berpikir kritis, kreatif, mengambil
keputusan dan memecahkan masalah serta tidak membedakan antara satu siswa
dengan lainnya.
9.
Memiliki kesatuan atau organisasi Suatu profesi perlu memiliki kesatuan atau
organisasi profesi yang berfungsi sebagai lembaga pengendali keseluruhan
profesi itu, baik secara mandiri maupun secara bersama-sama dengan pihak lain
yang relevan.
10.
Mendapat pengakuan orang lain terhadap pekerjaan guru. Sekarang pengakuan
terhadap seorang guru hanya tinggal sebatas nama kenangan, bahwa beliau adalah
guruku, ustadku, kepedulian terhadap jasa yang diberi oleh guru telah tertindas
oleh kesibukan material, dan kadang-kadang guru diukur dengan material sehingga
ada kecenderungan guru yang materialistis.
11.
Menghapus diskriminasi status guru yang saat ini beragam.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Banyak faktor
yang menyebabkan mengapa kualitas guru demikian rendah. Mulai dari komitmen
pemerintah rendah, kesejahteraan yang minim, pembinaan dan perlindungan profesi
yang belum memadai, kualitas input, LPTK sebagai lembaga yang menghasilkan guru,
sampai kepada persoalan kinerja guru yang sangat rendah. Permasalahan itu
langsung atau tidak langsung akan berkaitan dengan masalah mutu profesionalisme
guru yang masih belum memadai. Padahal sudah sangat jelas hal tersebut ikut
menentukan mutu pendidikan nasional. Mutu pendidikan nasional yang rendah,
salah satu penyebabnya adalah mutu guru yang rendah.
Selain faktor
di atas faktor lain yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru disebabkan
oleh antara lain; (1) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara
utuh. Hal ini disebabkan oleh banyak guru yang bekerja di luar jam kerjanya
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga waktu untuk membaca dan
menulis untuk meningkatkan diri tidak memadai; (2) belum adanya standar profesional
guru sebagaimana tuntutan di negara-negara maju; (3) kemungkinan disebabkan
oleh adanya perguruan tinggi sebagai pencetak guru yang lulusannya asal jadi
tanpa mempehitungkan outputnya kelak di lapangan sehingga menyebabkan banyak
guru yang tidak patuh terhadap etika profesi keguruan; (4) kurangnya motivasi
guru dalam meningkatkan kualitas diri.
Ada beberapa hal dalam UU Guru dan Dosen yang sampai saat
ini masih hangat dibicarakan, hal-hal tersebut adalah :
a. Standardisasi.
-
Standardisasi penyelenggaraan pendidikan.
-
Standardisasi kompetensi guru.
b.
Kesejahteraan
atau Tunjangan.
c.
Organisasi
profesi dan dewan kehormatan.
d.
Perlindungan
Salah satu sarana utama untuk meningkatkan kemampuan
profesional guru adalah melalui supervisi pendidikan. Kegiatan
supervisi pendidikan merupakan bagian integral dari kegiatan manajemen
pendidikan di sekolah.
3.2 Saran
Permasalahan pendidikan yang terjadi di Indonesia
mengakibatkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Rendahnya kulitas pendidikan di Indonesia
menyebabkan keterbelakangan Sumber Daya Manusia Indonesia yang pada akhirnya
berdampak pada keterlambatan pembangunan di Indonesia. Hal ini tentu tidak di inginkan, oleh karena
itu marilah kita bersama-sama mengaasi berbagai permasalahan yang terjadi. Sehingga Negara Indonesia tidak selamanya
menjadi follower perkembangan bangsa lain.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar